Bagi seorang perokok, menghentikan kebiasaan merokok bukan hal mudah. Efek adiksi nikotin ini menjadi masalah kesehatan global. Indonesia menduduki posisi kedua di dunia dengan jumlah perokok diperkirakan mencapai 70 juta orang.

 

Laporan WHO memproyeksikan bahwa prevalensi merokok di Indonesia akan meningkat dari 31,7 persen pada 2000 menjadi 37,5 persen pada 2025. Tingginya jumlah konsumsi merokok di Indonesia tersebut, menjadi salah satu faktor pemicu peningkatan prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM) yang diperkirakan menyebabkan kematian hingga tiga ratus juta jiwa. Diperkirakan 300.000 orang meninggal dini setiap tahun akibat rokok, seperti penyakit jantung, kanker paru, PPOK, tuberkulosis, dan stroke.

 

 

Berbagai upaya dan program nasional maupun global sudah dilakukan untuk mengurangi dampak merokok tembakau ini. Sayangnya, jumlah perokok bukan berkurang justru bertambah. Oleh karena itu, perlu cata atau metode alternatif yang efektif. 

 

Dalam diskusi media yang membedah laporan dan analisis "Lives Saved Report" di Jakarta, 3 Februari 2025, dr. Ronny Lesmana, associate profesor dan peneliti dari  Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung menjelaskan, hasil analisis yang dikeluarkan oleh Global Health Consults pada akhir November 2024 menemukan, lebih dari 4.6 juta jiwa dapat terselamatkan pada 2060 dengan metode Tobacco Harm Reduction (THR). Metode ini memfokuskan peralihan konsumsi rokok dengan menggunakan langkah alternatif yang lebih rendah risiko.

 

Apa itu Metode Tobacco Harm Reduction (THR)?

THR adalah upaya mengurangi bahaya tembakau dengan melibatkan penyediaan produk yang mengandung nikotin dengan tingkat bahaya yang lebih rendah bagi pengguna tembakau yang tidak mau atau tidak mampu berhenti menggunakan produk nikotin. 

 

 

Laporan “Lives Saved Report 2024” muncul seiring dengan semakin kuatnya bukti terhadap kualitas pemanfaatan metode THR yang dinilai dua kali lebih efektif dalam mengurangi kebiasaan merokok dibandingkan terapi pengganti nikotin.

 

 

Hal tersebut juga tertuang pada publikasi Public Health England yang menerangkan, produk tembakau alternatif mampu mengurangi paparan risiko hampir 95 persen lebih rendah dibandingkan rokok. Meskipun studi jangka panjang tentang manfaat kesehatan dari beralih ke THR masih diperlukan, hasil studi yang menggunakan biomarker penyakit masa depan cukup menjanjikan. Dengan begitu, langkah konkret melalui intervensi kebijakan untuk mengurangi bahaya merokok perlu dijalankan oleh pemerintah dengan melibatkan seluruh aspek.

 

Usaha untuk menghentikan rokok masif di Indonesia, tapi yang berhenti tidak sesignifikan itu. Untuk itu upaya bersama perlu terus dilakukan. Dalam konteks ini, kita tidak bisa berdiam diri. Hadirnya intervensi ini lebih menjanjikan dalam mengurangi bahaya merokok tembakau yang dibakar, bahkan hampir dua kali lebih efektif untuk penghentian merokok dibandingkan terapi pengganti nikotin, atau jika dibandingkan dengan hanya melanjutkan upaya pengendalian tembakau yang diarahkan oleh WHO saat ini saja,” jelas dr. Ronny.

 

Hadir dalam acara yang sama, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI dr. Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, pemerintah terus melakukan cara untuk mengendalikan penggunaan produk tembakau seperti rokok dan menurunkan 300 ribu kematian dini per tahun akibat merokok dengan mempertimbangkan opsi alternatif.

 

 

Dalam upaya pencegahan berbagai penyakit akibat perilaku merokok, Kemenkes sudah membuat Layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) sebagai upaya preventif dan promotif, dan tatalaksana pengendalian konsumsi rokok. Selain itu, peta jalan regulasi hingga saat ini juga kami sudah menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 serta aturan turunan yang terbit setahun setelahnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur produk tembakau termasuk rokok elektronik,” dr. Nadia.

 

Sementara itu, Prof. Tikki Pangestu, peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan WHO mengatakan, ada langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam mengurangi jumlah perokok lewat upaya pengurangan dampak rokok (harm reduction). Langkah-langkah tersebut mencakup dialog antar pemangku kepentingan, diadakannya lebih banyak penelitian yang lebih berkualitas dan lebih mengerti faktor kontekstual lokal dan kolaborasi yang lebih kuat di antara para peneliti dan akademisi dengan komunitas harm reduction di dunia.

 

Prof Tiki berharap pemerintah Indonesia bisa lebih terbuka soal produk alternatif tembakau ini.  Permasalahan rokok ini butuh intervensi yang maksimal. Beberapa negara maju di dunia seperti Inggris, Selandia Baru, dan Jepang sudah menerapkan konsep pengurangan risiko tembakau (tobacco harm reduction). Di negara maju tersebut, konsep pengurangan risiko berhasil menurunkan jumlah perokok konvensional, bahkan menurunkan peredaran jumlah rokok konvensional di pasaran,” jelas Prof. Tikki.

 

Lebih lanjut, laporan ini turut membahas urgensi pendalaman keilmuan mengenai dampak produk alternatif tembakau, serta pentingnya peran pemerintah dalam mendukung penelitian melalui pendanaan. Dukungan terhadap pendanaan riset dapat mendorong meningkatnya para ahli mengenai THR. Nantinya, hasil riset dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan oleh pemangku kepentingan terkait.

 

 

Praktisi Kesehatan dr. Arifandi Sanjaya mengatakan berhenti merokok jadi hal yang sulit dilakukan bagi perokok. Pasalnya setiap perokok yang berusaha berhenti akan menghadapi nikotin withdrawal atau gejala putus zat nikotin.

 

 

Membuat perokok berhenti itu susahnya luar biasa. Saya tidak pernah membuat orang berhenti merokok, tapi membatasi dosisnya, karena banyak kejadian orang kolaps. Gejala ini terjadi karena tubuh dan otak perokok telah memiliki ketergantungan terhadap nikotin yang selama ini dikonsumsi melalui rokok. Pendekatan dengan produk alternatif yang lebih aman dapat mengurangi risiko bahaya hasil dari pembakaran pada rokok dapat diupayakan dan dapat dijadikan jembatan perokok untuk berhenti merokok,” jelasnya.(AY)