Bulan September diperingati sebagai Bulan Kesadaran Limfoma. Limfoma adalah salah satu jenis kanker yang menyerang sistem limfatik, bagian penting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Ada dua jenis utama limfoma, yaitu Limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin.
Limfoma Hodgkin, termasuk jarang. Di Indonesia menempati urutan 27 untuk pernyakit kanker, dengan 1.294 kasus baru Limfoma Hodgkin, dengan kematian sebanyak 373 kasus.
Dr. dr. Andhika Rachman, SpPD-KHOM, pakar hematologi-onkologi, menjelaskan bahwa Limfoma Hodgkin adalah penyakit 1000 wajah, alias kerap memiliki gejala penyakit lain. “Paling sering didiagnosis sebagai TB kelenjar. Ada juga didiagnosis saraf kejepit bahkan gagal ginjal akut,” jelas dr. Andhika dalam acara media bertajuk “Kenali Limfoma Hodgkin” di Jakarta, 26 September 2024.
Ini juga yang menyebabkan kondisi Limfoma Hodgkin di Indonesia masih kurang terdiagnosis dengan baik. Menurut dr. Andhika, Limfoma Hodgkin, meskipun lebih jarang ditemukan, memiliki ciri khas sel Reed-Sternberg dan sering kali menyerang usia 15-30 tahun dan orang dewasa muda serta mereka yang berusia di atas 55 tahun.
Kenali Gejala Limfoma Hodgkin
Masyarakat perlu mewaspadai beberapa gejala seperti munculnya benjolan di area kelenjar getah bening, yang dapat disertai dengan gejala sistemik yang kita sebut sebagai B symptoms yang meliputi demam lebih dari 38oC tanpa penyebab yang jelas, keringat berlebihan di malam hari, serta penurunan bobot badan lebih dari 10% dalam 6 bulan berturut-turut tanpa disertai diet dan penyakit lain.
Apabila mengalami gejala seperti itu, segera temui dokter untuk mendapatkan pemeriksaan yang menyeluruh. Karena semakin cepat Limfoma Hodgkin didiagnosis, semakin besar peluang untuk memulai pengobatan yang tepat, dan semakin tinggi angka kelangsungan hidup pasien.
Pentingnya kesadaran terhadap gejala awal juga disampaikan oleh para pasien yang berbagi cerita mereka dalam acara ini. Intan Khasanah, seorang penyintas Limfoma Hodgkin, menceritakan betapa panjang dan sulitnya perjalanan yang ia tempuh sebelum akhirnya mendapatkan diagnosis yang tepat.
"Awalnya, saya didiagnosis TB setelah melalui pemeriksaan biopsi. Saat itu ada 2 benjolan seukuran kelereng yang muncul di leher kanan saya persis setelah saya terkena demam tinggi selama 3 hari. Akhirnya, selama 8 bulan saya rutin minum obat sembari melakukan kontrol ke RS. Namun semakin lama kondisi saya malah semakin parah, hingga koma dan masuk ICU. Ternyata ketika saya melakukan pengecekan ulang di dokter dan RS berbeda, diagnosis yang muncul adalah Limfoma Hodgkin, dan saat itu sudah terlanjur stadium 4. Mungkin terdengar aneh, tapi saya justru merasa lega saat dapat diagnosis itu. Yang ada di pikiran saya, "akhirnya misteri terpecahkan". Meski setelahnya tentu perjalanan yang saya alami sama sekali tidak mudah, seperti rollercoaster, penuh ups and downs, terlebih saya berobat sambil tetap aktif sekolah, kuliah, dan bekerja selama 7 tahun penuh, saya tidak menyangka akhirnya bisa mendapat remisi total.”
Perjuangan melawan salah diagnosis juga dialami oleh Ias, seorang pasien Limfoma Hodgkin lainnya. Ia berbagi kisah bagaimana awalnya ia didiagnosis saraf terjepit, karena gejalanya mirip.
“Saya merasakan sakit punggung, demam tinggi, keringat berlebih, dan berat badan turun drastis. Bahkan setelah menjalani MRI, tidak ditemukan sel kanker. Saya juga sempat dicurigai TB, dan baru setelah biopsi dan pemeriksaan PET-CT scan, saya mengetahui bahwa saya menderita Limfoma Hodgkin, bertepatan dengan hari ulang tahun saya.”
Ia menambahkan, “Tantangan terberat yang saya alami adalah panjangnya proses pengobatan. Saya sempat mengalami remisi satu kali, yaitu pada September 2023. Namun, remisi tersebut tidak berlangsung lama. Pada Januari 2024 terdeteksi sel kanker aktif (relapse) dan hingga kini, remisi belum tercapai, dan sel kanker masih aktif berdasarkan PET-CT SCAN yang baru saja dilakukan di September 2024 kemarin.”
Akses Obat Mudah, Ditanggung BPJS
Perjalanan panjang para pasien untuk mendapatkan diagnosis yang benar dan menjalani pengobatan yang tepat menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh mereka yang berjuang melawan kanker, tidak hanya dari segi fisik tetapi juga secara finansial dan mental. Beban psikologis ini tidak hanya dirasakan oleh pasien, tetapi juga oleh keluarga dan orang-orang di sekitar mereka. Oleh karena itu, dukungan yang kuat dari lingkungan sangatlah penting.
Aryanthi Baramuli Putri, SH, MH, ketua umum Cancer Information and Support Center (CISC), yang juga seorang penyintas kanker, turut menyampaikan pentingnya dukungan bagi pasien kanker.
“Berbagai tantangan dihadapi pasien kanker khususnya akses terhadap diagnosis dan pengobatan seperti masalah psikologis, informasi dan keuangan. Itulah mengapa CISC didirikan sebagai sebuah organisasi pasien, guna memberikan informasi dan dukungan psikososial. Dari sekitar 3.000 anggota CISC, terdapat sekitar 250 rekan-rekan penyintas Limfoma (termasuk Hodgkin dan non-Hodgkin).”
Shinta Caroline, Head of Patient Value Access PT Takeda Indonesia, menegaskan komitmen Takeda dalam mendukung penanganan Limfoma Hodgkin di Indonesia.
“Takeda berkomitmen untuk terus meningkatkan tatalaksana Limfoma Hodgkin di Indonesia melalui penyediaan obat-obatan yang inovatif, dan lebih dari itu, melalui upaya kolaboratif bersama semua pihak terkait untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia seputar Limfoma Hodgkin. Kami tidak hanya ingin menjadi penyedia solusi kesehatan yang tepercaya, tetapi juga mitra jangka panjang bagi pemerintah, organisasi pasien, asosiasi medis, sektor swasta, dan masyarakat luas. Fokus utama kami selalu pada kepentingan pasien—bagaimana kita bisa memberikan perawatan yang terbaik, meningkatkan kualitas hidup mereka, dan mendukung perjalanan mereka melawan penyakit ini. Kami percaya bahwa melalui kolaborasi yang kuat, kita dapat menciptakan dampak positif yang nyata bagi pasien Limfoma Hodgkin di Indonesia,” tutup Shinta.