Dari penelitian tahun 2012, Indonesia menunjukkan bahwa penggunaan albendazole dosis tunggal 400 mg merupakan terapi pilihan yang dapat memberikan signifikan pada proses sterilisasi telur atau larva Ascaris lumbricoides, dibandingkan dengan mebendazole. Namun demikian, baik mebendazole maupun albendazole memiliki kecepatan penyembuhan dan penurunan telur Ascaris lumbricoides. Selain dari albendazole, terapi farmakologi yang menjadi pilihan adalah penggunaan mebendazole 100 mg 3x sehari selama 3 hari atau dosis tunggal 500 mg. Pada kondisi askariasis yang disertai dengan adanya infeksi parasit Trichuris trichiura (whipworm), terapi mebendazole dengan dosis tiga kali lipat justru memberikan efikasi yang lebih baik. Namun demikian penggunaan albendazole dan mebendazole tidak direkomendasikan selama masa kehamilan. Terapi yang dianjurkan selama masa kehamilan adalah penggunaan pyrantel pamoate.
Terapi farmakologi yang diberikan, semuanya ditujukan untuk sterilisasi cacing dewasa, sehingga masih dimungkinkan adanya sisa telur maupun larva. Oleh karena itu dibutuhkan adanya pemeriksaan berulang setelah 3 bulan. Pasien yang tinggal di daerah endemik, memiliki resiko lebih besar hingga 80% untuk terjadinya reinfeksi setelah 6 bulan. Pasien dengan askariasis memiliki resiko komplikasi dan infeksi cacing lainnya selain dari askariasis. Oleh karena itu, pengobatan yang diberikan bisa jadi berupa terapi untuk askariasis, maupun untuk mengatasi komplikasi yang lainnya. Selain itu terapi farmakologi (terapi dengan obat-obatn) untuk askariasis, tidak hanya ditujukan untuk infeksi paru-paru aktif, karena pada tahap larva, keberadaan larva tersebut justru meningkatkan resiko pneumonitis. Gejala klinis askariasis yang menyerang paru-paru, biasanya dapat diberikana tambahan terapi bronkodilator atau kortikosteroid. Selain itu, pada pasien anak, juga sering ditambahkan supplementasi vitamin A untuk membantu memperbaiki perkembangan tumbuh kembang pada anak.