
Untuk menegakkan diagnosis IBS, bisa merujuk pada kriteria ROMA III, yaitu ketika seseorang mengalami nyeri abdomen atau sensasi tidak nyaman berulang paling tidak selama 3 hari dalam satu bulan pada 3 bulan terakhir, dengan 2 atau lebih gejala berikut:
- Gejala terasa lebih ringan setelah buang air besar.
- Terdapat perubahan pola dan frekuensi buang air besar.
- Terdapat perubahan bentuk atau tampilan feses.
Kriteria diagnosis akan terpenuhi dalam 3 bulan terakhir, dengan gejala muncul setidaknya 6 bulan sebelum diagnosis.
IBS bisa dibagi menjadi subkelas sebagai berikut:
- IBS dengan diare (IBS-D): Feses lembek atau cair ≥ 25% waktu dan feses padat atau bergumpal < 25>
- IBS dengan konstipasi (IBS-C): Feses padat atau bergumpal ≥ 25% waktu dan feses lembek atau cair
- IBS dengan campuran kebiasaan buang air besar atau pola siklik (IBS-M): Feses padat atau bergumpal dan lembek atau cair ≥ 25% waktu, ditemukan pada satu pertiga kasus
*Catatan: 25% waktu adalah 3 minggu dalam 3 bulan.
Untuk meningkatkan akurasi diagnosis IBS, bisa dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti tes darah rutin, serologi penyakit celiac, radiologi abdomen, kolonoskopi, tes pernapasan untuk ekslusi intoleransi laktosa, dan lainnya. Karena IBS merupakan kelainan dengan patofisiologi yang heterogen, gejala individual saja terkadang tidak cukup untuk menegakkan diagnosisnya. Diagnosis pembanding bisa dilakukan untuk meyakinkan dalam penegakan diagnosis IBS, meliputi kelainan gastrointestinal (Celiac sprue, adenokarsinoma kolon, penyakit infeksi, intoleransi laktosa dll), kelainan nongastrointestinal (depresi, diabetes mellitus, penyakit ginekologi, disfungsi tiroid, efek samping obat dll), serta kelainan fungsional lain (sindrom disfungsi anorektal, kembung, konstipasi fungsional, diare fungsional, dispepsia fungsional, dll)